Sunday, 28 April 2013

KEHAMILAN EKTOPIK




 KEHAMILAN EKTOPIK

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi, dan tumbuh di luar kavum endometrium. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal.( 1 )
Sebenarnya kehamilan abdominal sangat jarang terjadi, The Centers for Disease Control and Prevention mencatat terjadinya kehamilan abdominal hanya berkisar 1 dari 10000 kehamilan hidup, bahkan laporan dari rumah sakit Parkland menyebutkan lebih ekstrem lagi yaitu hanya berkisar 1 dari 25000 kelahiran hidup.( 3 )Dilaporkan bahwa insiden kehamilan abdominal ini, apalagi yang sampai lanjut lebih banyak 19 % terjadi pada orang yang tinggal di kota bukan industri, dibandingkan dengan orang yang tinggal di kota industri.( 4 )
Angka kejadian kehamilan abdominal pada puskesmas di kabupaten sikka, maupun RSUD dr.Tc Hillers masih belum diketahui secara pasti, karena adanya persalinan yang terjadi di luar puskesmas ataupun rumah sakit. Pada kasus ini ibu memang tinggal di daerah yang bukan termasuk kawasan industri.
Etiologi dari kehamilan abdominal ini telah banyak diselidiki, namun hingga kini belum diketahui penyebab pasti dari kejadian ini.( 1,3 )
Kehamilan abdominal dapat terjadi secara primer, ataupun secara sekunder.( 1 ) Disebut kehamilan abdominal primer jika memenuhi kriteria( 5,6 ) : a) Tuba, dan ovarium dalam keadaan normal tanpa kelainan, b) tidak terdapat fistula uteroplasenta, c) plasenta langsung berimplantasi pada peritoneum, tanpa berimplantasi pada tuba sebelumnya.
Kehamilan abdominal adalah kehamilan resiko tinggi, dengan angka kematian yang cukup tinggi, baik bagi ibu maupun bagi janin yang dikandungnya.( 7 ) Diagnosis dari kehamilan abdominal terutama sebelum operasi amat sukar. Hanya sekitar 45 % dari kasus kehamilan abdominal terutama yang lanjut, yang dapat terdiagnosis sebelum operasi.Diagnosis sebelum operasi biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang( 3,4 ).
Berikut beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya kehamilan abdominal( 1,4 ) : a) Riwayat perdarahan, atau nyeri perut hebat sepanjang trimester pertama, b) riwayat pernah abortus, atau operasi pelvis sebelumnya, c) riwayat infertilitas, d) perdarahan, atau nyeri abdomen bukan akibat persalinan pada trimester ketiga, e) persepsi yang aneh pada bagian tubuh ibu, misalnya bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit, walaupun pada multipara, dan wanita dengan dinding perut yang tipis kesan tersebut juga diperoleh, f) letak janin yang abnormal, g) cervix tidak terlihat pada tempatnya ( biasanya pada pemeriksaan dalam, cervix terletak tinggi di vagina, dan tidak seberapa besar , dan lunak seperti kehamilan intrauterin ), h) ada massa yang terpisah dari janin, i) penampakan ekografik yang tidak biasa dari plasenta, j) ibu merasa gerakan janin berhenti, k) induksi yang gagal. Namun kehamilan ektopik yang belum terganggu memang sukar didiagnosis dini( 1 ).
Pada kasus ini, ibu terlambat didiagnosis mengalami kehamilan abdominal, karena dari anamnesis, dan pemeriksaan antenatal diketahui bahwa ibu tidak pernah memeriksakan kehamilannya pada dokter, atau memeriksakan diri di rumah sakit yang memiliki peralatan diagnostik yang lebih lengkap, selain itu juga karena perjalanan kehamilan ibu yang sejak awal tampak normal, dan ibu tidak pernah mengeluhkan kehamilanya.
Dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang, minimal USG lebih awal pada pemeriksaan kehamilan ( meskipun USG dapat memberikan hasil yang meragukan ), maka diagnosis dini dapat dibuat, sehingga terapi yang tepat dapat diberikan guna mencegah komplikasi lanjut.
USG sendiri dapat memberikan kesalahan diagnostik sebesar 50 % – 90 %, sehingga beberapa tahun terakhir mulai digunakan MRI, yaitu salah satu pemeriksaan penunjang yang cukup menjanjikan karena dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, dan tidak beradiasi.( 3,8 )
Oleh karena kasus ini terjadi di daerah terpencil, tentu pemeriksaan USG dapat dijadikan petunjuk mendiagnosis kehamilan abdominal. Temuan USG yang paling sering, dan dapat dipercaya adalah ditemukannya uterus yang kosong terpisah dari janin. Hal ini ditemukan pada 90 % kehamilan abdominal.( 9 )Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa insersi balon kateter pada uterus yang dilakukan selama pemeriksaan USG, lebih membantu klarifikasi dari gambaran yang meragukan.( 4 )
Temuan kedua tersering pada USG adalah adanya plesenta ekstrauterin yang terlihat pada 75 % kasus kehamilan abdominal. Plasenta ekstrauterin lebih jarang terlihat dibandingkan dengan uterus kosong yang terpisah dari janin, karena plasenta kurang jelas terlihat dengan USG. Gambaran-gambaran lain yang hampir mirip dengan kehamilan abdominal adalah kehamilan pada uterus bicornu, tumor uterus bertangkai yang berhubungan dengan uterus hamil, pada kehamilan normal pada uterus retrofleksi, atau antefleksi dengan sudut yang tajam.( 4 )
Selain ibu tidak pernah periksa USG, janin yang teraba pada vagina waktu persalinan membuat kehamilannya tampak normal. Partus pervaginam disebabkan adanya fistula yang menghubungkan rongga abdomen dengan vagina. Fistula ini mungkin terjadi sewaktu ibu bersalin pada tenaga dukun sebanyak 4 kali pada kehamilan sebelumnya.
Penanganan standar dari kehamilan abdominal lanjut adalah laparotomi, meskipun masih menjadi kontroversi( 5 ). Salah satu masalah yang dihadapi adalah adanya perdarahan masif, terutama bila plasenta tidak sengaja terlepas. Oleh karena itu sebaiknya dipersiapkan darah sekitar 1 liter. Hingga sekarang masih menjadi perdebatan apakah diperlukan untuk memindahkan plasenta setelah janin dilahirkan. Nkusu dan Isah dkk( 4,7 ) mengatakan plasenta sebaiknya ditinggalkan karena dapat menimbulkan perdarahan yang seringkali tidak teridentifikasi apabila diangkat, dengan resiko komplikasi seperti infeksi, supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus, sedangkan plasenta yang tertinggal dapat diberikan metotrexat 1 mg / kg i.v, untuk mempercepat reasorbsinya. Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh darah.( 1,4,7 )
Pada kasus ini tidak dilakukan laparotomi karena janin telah keluar melalui vagina, dan hanya plasenta yang tertinggal di dalam. Apabila dilakukan laparotomi, untuk mengeluarkan plasenta, maka resiko ibu meninggal di meja operasi sangat besar, karena tidak diketahui secara pasti letak pembuluh darah yang dapat diamankan.
Melihat resiko yang besar, dokter hanya merencanakan menutup fistula antara rongga abdomen, dengan vagina. Namun karena letak yang terlalu dalam, sehingga timbul kesukaran, dan ditakutkan melukai jalan lahir, serta tidak adanya perdarahan aktif lagi, maka diputuskan menunda penutupan tersebut.
Pada kasus ini juga tidak dilakukan pemberian metotrexat, karena keadaan ibu yang masih sangat lemah, yang ditakutkan obat ini dapat membunuh sel-sel tubuh yang masih baik. Plasenta yang tidak diberikan metotrexat dapat direasorbsi, tetapi membutuhkan waktu hingga beberapa tahun.( 1 )
Ibu ini juga mengalami komplikasi ascites, meskipun kehamilan abdominal tidak diketahui berhubungan dengan kejadian ascites, walaupun cairan bebas peritoneal ditemukan pada 10 % kasus( 10 ).
Ascites yang terdapat pada ibu ini mungkin merupakan akibat dari kehamilan abdominal yang menyebabkan perlekatan masif pada pembuluh limfatik peritoneum, sehingga timbul obstruksi, dan pada akhirnya darah yang ada tidak direabsorbsi. Darah yang tidak direabsorbsi dapat menimbulkan iritasi, dan inflamasi pada peritoneum, yang pada akhirnya meningkatkan produksi cairan ascites. Hal ini banyak terjadi pada wanita berkulit hitam.( 10 )
Pada kasus ini kematian yang dialami ibu mungkin disebabkan oleh karena syok sepsis, dan syok perdarahan. Syok sendiri berarti suatu keadan klinis yang akut pada seorang penderita, yang bersumber pada berkurangnya perfusi jaringan dengan darah, akibat gangguan pada sirkulasi mikro( 1 ). Sepsis yang terjadi bisa disebabkan oleh tidak direasorbsinya darah, dan hal itu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman, sedangkan perdarahan yang terjadi akibat terganggunya pembuluh darah pada plasenta.
RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang ibu G6P5A0 berusia 33 tahun yang datang  dengan keluhan nyeri pada perut, dan pinggang, beserta keluar lendir, dan darah dari vagina, dengan riwayat persalinan dahulu 4 kali ditolong oleh dukun, dan 1 kali ditolong bidan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosis ibu ini mengalami kehamilan abdominal dengan partus pervaginam. Pada ibu ini dilakukan vakum ekstraksi, dan observasi, tanpa tindakan operasi karena sejumlah kendala, antara lain komplikasi yang ditimbulkan seperti perdarahan. Setelah melalui observasi ketat selama ± 9 hari, ibu meninggal dunia karena syok sepsis. Dari kasus ini dapat diambil kesimpulan bahwa sebaiknya ibu hamil memeriksakan kehamilannya secara teratur baik pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti USG, agar dapat dilakukan diagnosis dini apabila dijumpai kelainan pada kehamilan, sehingga dapat diberikan intervensi dini yang tepat.

.

No comments:

Post a Comment