KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan
ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi,
dan tumbuh di luar kavum endometrium. Sebagian besar kehamilan ektopik
berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut,
kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada
uterus. Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan
intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan abdominal.( 1 )
Sebenarnya
kehamilan abdominal sangat jarang terjadi, The Centers for Disease Control
and Prevention mencatat terjadinya kehamilan abdominal hanya berkisar 1
dari 10000 kehamilan hidup, bahkan laporan dari rumah sakit Parkland
menyebutkan lebih ekstrem lagi yaitu hanya berkisar 1 dari 25000 kelahiran
hidup.( 3 )Dilaporkan bahwa insiden kehamilan abdominal ini, apalagi
yang sampai lanjut lebih banyak 19 % terjadi pada orang yang tinggal di kota
bukan industri, dibandingkan dengan orang yang tinggal di kota industri.(
4 )
Angka
kejadian kehamilan abdominal pada puskesmas di kabupaten sikka, maupun RSUD
dr.Tc Hillers masih belum diketahui secara pasti, karena adanya persalinan yang
terjadi di luar puskesmas ataupun rumah sakit. Pada kasus ini ibu memang
tinggal di daerah yang bukan termasuk kawasan industri.
Etiologi
dari kehamilan abdominal ini telah banyak diselidiki, namun hingga kini belum
diketahui penyebab pasti dari kejadian ini.( 1,3 )
Kehamilan
abdominal dapat terjadi secara primer, ataupun secara sekunder.( 1 )
Disebut kehamilan abdominal primer jika memenuhi kriteria( 5,6 ) :
a) Tuba, dan ovarium dalam keadaan normal tanpa kelainan, b) tidak terdapat
fistula uteroplasenta, c) plasenta langsung berimplantasi pada peritoneum,
tanpa berimplantasi pada tuba sebelumnya.
Kehamilan
abdominal adalah kehamilan resiko tinggi, dengan angka kematian yang cukup
tinggi, baik bagi ibu maupun bagi janin yang dikandungnya.( 7 )
Diagnosis dari kehamilan abdominal terutama sebelum operasi amat sukar. Hanya
sekitar 45 % dari kasus kehamilan abdominal terutama yang lanjut, yang dapat
terdiagnosis sebelum operasi.Diagnosis sebelum operasi biasanya ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang( 3,4 ).
Berikut
beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk memperkirakan terjadinya kehamilan
abdominal( 1,4 ) : a) Riwayat perdarahan, atau nyeri perut hebat
sepanjang trimester pertama, b) riwayat pernah abortus, atau operasi pelvis
sebelumnya, c) riwayat infertilitas, d) perdarahan, atau nyeri abdomen bukan
akibat persalinan pada trimester ketiga, e) persepsi yang aneh pada bagian
tubuh ibu, misalnya bagian-bagian janin teraba lebih jelas di bawah kulit,
walaupun pada multipara, dan wanita dengan dinding perut yang tipis kesan
tersebut juga diperoleh, f) letak janin yang abnormal, g) cervix tidak terlihat
pada tempatnya ( biasanya pada pemeriksaan dalam, cervix terletak tinggi di
vagina, dan tidak seberapa besar , dan lunak seperti kehamilan intrauterin ),
h) ada massa yang terpisah dari janin, i) penampakan ekografik yang tidak biasa
dari plasenta, j) ibu merasa gerakan janin berhenti, k) induksi yang gagal.
Namun kehamilan ektopik yang belum terganggu memang sukar didiagnosis dini(
1 ).
Pada
kasus ini, ibu terlambat didiagnosis mengalami kehamilan abdominal, karena dari
anamnesis, dan pemeriksaan antenatal diketahui bahwa ibu tidak pernah
memeriksakan kehamilannya pada dokter, atau memeriksakan diri di rumah sakit
yang memiliki peralatan diagnostik yang lebih lengkap, selain itu juga karena
perjalanan kehamilan ibu yang sejak awal tampak normal, dan ibu tidak pernah
mengeluhkan kehamilanya.
Dengan
dilakukannya pemeriksaan penunjang, minimal USG lebih awal pada pemeriksaan kehamilan
( meskipun USG dapat memberikan hasil yang meragukan ), maka diagnosis dini
dapat dibuat, sehingga terapi yang tepat dapat diberikan guna mencegah
komplikasi lanjut.
USG
sendiri dapat memberikan kesalahan diagnostik sebesar 50 % – 90 %, sehingga beberapa
tahun terakhir mulai digunakan MRI, yaitu salah satu pemeriksaan penunjang yang
cukup menjanjikan karena dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, dan tidak
beradiasi.( 3,8 )
Oleh
karena kasus ini terjadi di daerah terpencil, tentu pemeriksaan USG dapat
dijadikan petunjuk mendiagnosis kehamilan abdominal. Temuan USG yang paling
sering, dan dapat dipercaya adalah ditemukannya uterus yang kosong terpisah
dari janin. Hal ini ditemukan pada 90 % kehamilan abdominal.( 9 )Ada
beberapa penulis yang mengatakan bahwa insersi balon kateter pada uterus yang
dilakukan selama pemeriksaan USG, lebih membantu klarifikasi dari gambaran yang
meragukan.( 4 )
Temuan
kedua tersering pada USG adalah adanya plesenta ekstrauterin yang terlihat pada
75 % kasus kehamilan abdominal. Plasenta ekstrauterin lebih jarang terlihat
dibandingkan dengan uterus kosong yang terpisah dari janin, karena plasenta
kurang jelas terlihat dengan USG. Gambaran-gambaran lain yang hampir mirip
dengan kehamilan abdominal adalah kehamilan pada uterus bicornu, tumor uterus
bertangkai yang berhubungan dengan uterus hamil, pada kehamilan normal pada
uterus retrofleksi, atau antefleksi dengan sudut yang tajam.( 4 )
Selain
ibu tidak pernah periksa USG, janin yang teraba pada vagina waktu persalinan
membuat kehamilannya tampak normal. Partus pervaginam disebabkan adanya fistula
yang menghubungkan rongga abdomen dengan vagina. Fistula ini mungkin terjadi
sewaktu ibu bersalin pada tenaga dukun sebanyak 4 kali pada kehamilan
sebelumnya.
Penanganan
standar dari kehamilan abdominal lanjut adalah laparotomi, meskipun masih
menjadi kontroversi( 5 ). Salah satu masalah yang dihadapi adalah
adanya perdarahan masif, terutama bila plasenta tidak sengaja terlepas. Oleh
karena itu sebaiknya dipersiapkan darah sekitar 1 liter. Hingga sekarang masih
menjadi perdebatan apakah diperlukan untuk memindahkan plasenta setelah janin
dilahirkan. Nkusu dan Isah dkk( 4,7 ) mengatakan plasenta sebaiknya
ditinggalkan karena dapat menimbulkan perdarahan yang seringkali tidak
teridentifikasi apabila diangkat, dengan resiko komplikasi seperti infeksi,
supurasi, perlekatan, luka perut terbuka, atau kadang-kadang ileus, sedangkan
plasenta yang tertinggal dapat diberikan metotrexat 1 mg / kg i.v, untuk
mempercepat reasorbsinya. Plasenta hanya dikeluarkan bila berimplantasi pada
alat yang bersama-sama dapat dikeluarkan dengan pengikatan pembuluh darah.(
1,4,7 )
Pada
kasus ini tidak dilakukan laparotomi karena janin telah keluar melalui vagina,
dan hanya plasenta yang tertinggal di dalam. Apabila dilakukan laparotomi,
untuk mengeluarkan plasenta, maka resiko ibu meninggal di meja operasi sangat
besar, karena tidak diketahui secara pasti letak pembuluh darah yang dapat
diamankan.
Melihat
resiko yang besar, dokter hanya merencanakan menutup fistula antara rongga
abdomen, dengan vagina. Namun karena letak yang terlalu dalam, sehingga timbul
kesukaran, dan ditakutkan melukai jalan lahir, serta tidak adanya perdarahan
aktif lagi, maka diputuskan menunda penutupan tersebut.
Pada
kasus ini juga tidak dilakukan pemberian metotrexat, karena keadaan ibu yang
masih sangat lemah, yang ditakutkan obat ini dapat membunuh sel-sel tubuh yang
masih baik. Plasenta yang tidak diberikan metotrexat dapat direasorbsi, tetapi
membutuhkan waktu hingga beberapa tahun.( 1 )
Ibu
ini juga mengalami komplikasi ascites, meskipun kehamilan abdominal tidak
diketahui berhubungan dengan kejadian ascites, walaupun cairan bebas peritoneal
ditemukan pada 10 % kasus( 10 ).
Ascites
yang terdapat pada ibu ini mungkin merupakan akibat dari kehamilan abdominal
yang menyebabkan perlekatan masif pada pembuluh limfatik peritoneum, sehingga
timbul obstruksi, dan pada akhirnya darah yang ada tidak direabsorbsi. Darah
yang tidak direabsorbsi dapat menimbulkan iritasi, dan inflamasi pada peritoneum,
yang pada akhirnya meningkatkan produksi cairan ascites. Hal ini banyak terjadi
pada wanita berkulit hitam.( 10 )
Pada
kasus ini kematian yang dialami ibu mungkin disebabkan oleh karena syok sepsis,
dan syok perdarahan. Syok sendiri berarti suatu keadan klinis yang akut pada
seorang penderita, yang bersumber pada berkurangnya perfusi jaringan dengan
darah, akibat gangguan pada sirkulasi mikro( 1 ). Sepsis yang
terjadi bisa disebabkan oleh tidak direasorbsinya darah, dan hal itu merupakan
media yang baik bagi pertumbuhan kuman, sedangkan perdarahan yang terjadi
akibat terganggunya pembuluh darah pada plasenta.
RINGKASAN
Telah
dilaporkan seorang ibu G6P5A0 berusia 33 tahun
yang datang dengan keluhan nyeri pada perut, dan pinggang, beserta keluar
lendir, dan darah dari vagina, dengan riwayat persalinan dahulu 4 kali ditolong
oleh dukun, dan 1 kali ditolong bidan. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosis ibu ini mengalami kehamilan
abdominal dengan partus pervaginam. Pada ibu ini dilakukan vakum ekstraksi, dan
observasi, tanpa tindakan operasi karena sejumlah kendala, antara lain
komplikasi yang ditimbulkan seperti perdarahan. Setelah melalui observasi ketat
selama ± 9 hari, ibu meninggal dunia karena syok sepsis. Dari kasus ini dapat
diambil kesimpulan bahwa sebaiknya ibu hamil memeriksakan kehamilannya secara
teratur baik pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti USG, agar
dapat dilakukan diagnosis dini apabila dijumpai kelainan pada kehamilan,
sehingga dapat diberikan intervensi dini yang tepat.
.
No comments:
Post a Comment